Rabu, 04 Mei 2011

SINUSITIS

1. Definisi :
Sinusitis adalah : merupakan penyakit infeksi sinus yang disebabkan oleh
kuman atau virus.
2. Etiologi
a. Rinogen
Obstruksi dari ostium Sinus (maksilaris/paranasalis) yang disebabkan
oleh:
1) Rinitis Akut (influenza)
2) Polip, septum deviasi
b. Dentogen
Penjalaran infeksidari gigi geraham atas Kuman penyebab :
1) Streptococcus pneumoniae
2) Hamophilus influenza
3) Steptococcus viridans
4) Staphylococcus aureus
5) Branchamella catarhatis
3. Gejala klinis :
a. Febris, filek kental, berbau, bisa bercampur darah
b. Nyeri :
1) Pipi : biasanya unilateral
2) Kepala : biasanya homolateral, terutama pada sorehari
3) Gigi (geraham atas) homolateral.
c. Hidung :
1) buntu homolateral
2) Suara bindeng.
4. Cara Pemeriksaan
a. Rinoskopi anterior :
1) Mukosa merah
2) Mukosa bengkak
3) Mukopus di meatus medius.
c. Rinoskopi postorior
mukopus nasofaring.
d. Nyeri tekan pipi yang sakit.
e. Transiluminasi : kesuraman pada ssisi yang sakit.
f. X Foto sinus paranasalis
1) Kesuraman
2) Gambaran “airfluidlevel”
3) Penebalan mukosa
5. Penatalaksanaan :
a. Drainage
1) Medical :
a) Dekongestan lokal : efedrin 1%(dewasa) ½%(anak)
b) Dekongestan oral :Psedo efedrin 3 X 60 mg
2) Surgikal : irigasi sinus maksilaris.
b. antibiotik diberikan dalam 5-7 hari (untk akut) yaitu :
1) ampisilin 4 X 500 mg
2) amoksilin 3 x 500 mg
3) Sulfametaksol=TMP (800/60) 2 x 1tablet
4) Diksisiklin 100 mg/hari.
c. Simtomatik
parasetamol., metampiron 3 x 500 mg.
d. Untuk kromis adalah :
1) Cabut geraham atas bila penyebab dentogen
2) Irigasi 1 x setiap minggu ( 10-20)
3) Operasi Cadwell Luc bila degenerasi mukosa ireversibel (biopsi)
6. Tinjauan Keperawatan
a. Pengkajian :
1) Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan,
pekerjaan,,
2) Riwayat Penyakit sekarang :
3) Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus,
tenggorokan.
4) Riwayat penyakit dahulu :
a) Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau
trauma
b) Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
c) Pernah menedrita sakit gigi geraham
5) Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota
keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit
klien sekarang.
6) Riwayat spikososial
a) Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih0
b) Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7) Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksanahidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien menkonsumsi obat tanpa
memperhatikan efek samping
b) Pola nutrisi dan metabolisme :
biasanya nafsumakan klien berkurang karena terjadi gangguan
pada hidung
c) Pola istirahat dan tidur
selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien
sering pilek
d) Pola Persepsi dan konsep diri
klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan
konsepdiri menurun
e) Pola sensorik
daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek
terus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
8) Pemeriksaan fisik
a) status kesehatan umum : keadaan umum , tanda viotal, kesadaran.
b) Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus,
rinuskopi (mukosa merah dan bengkak).
Data subyektif :
1. Observasi nares :
a. Riwayat bernafas melalui mulut, kapan, onset,
frekwensinya
b. Riwayat pembedahan hidung atau trauma
c. Penggunaan obat tetes atau semprot hidung : jenis, jumlah,
frekwensinyya , lamanya.
2. Sekret hidung :
a. warna, jumlah, konsistensi secret
b. Epistaksis
c. Ada tidaknya krusta/nyeri hidung.
3. Riwayat Sinusitis :
a. Nyeri kepala, lokasi dan beratnya
b. Hubungan sinusitis dengan musim/ cuaca.
4. Gangguan umum lainnya : kelemahan
Data Obyektif
1. Demam, drainage ada : Serous, Mukppurulen, Purulen
2. Polip mungkin timbul dan biasanya terjadi bilateral pada
hidung dan sinus yang mengalami radang ? Pucat, Odema
keluar dari hidng atau mukosa sinus
3. Kemerahan dan Odema membran mukosa
4. Pemeriksaan penunjung :
a. Kultur organisme hidung dan tenggorokan
b. Pemeriksaan rongent sinus.
c. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri : kepala, tenggorokan , sinus berhubungan dengan peradangan
pada hidung
2. Cemas berhubungan dengan Kurangnya Pengetahuan klien tentang
penyakit dan prosedur tindakan medis(irigasi sinus/operasi)
3. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan dengan obstruksi
/adnya secret yang mengental
4. Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan hiidung buntu., nyeri
sekunder peradangan hidung
5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan nafus makan menurun sekunder dari peradangan sinus
6. Gangguan konsep diri berhubungan dengan bau pernafasan dan pilek
d. Perencanaan
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peradangan pada
hidung
Tujuan : Nyeri klien berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
a. Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan berkurang atau
hilang
b. Klien tidak menyeringai kesakitan
Intervensi Rasional
INTERVENSI RASIONAL
Kaji tingkat nyeri klien
b. Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien
serta keluarganya
c. Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi
d. Observasi tanda tanda vital dan keluhan klien
e. Kolaborasi dngan tim medis :
1) Terapi konservatif :
- obat Acetaminopen; Aspirin, dekongestan
hidung
- Drainase sinus
2) Pembedahan :
- Irigasi Antral :
Untuk sinusitis maksilaris
- Operasi Cadwell Luc
a. Mengetahui tingkat nyeri klien
dalam menentukan tindakan
selanjutnya
b. Dengan sebab dan akibat nyeri
diharapkan klien berpartisipasi
dalam perawatan untuk
mengurangi nyeri
c. Klien mengetahui tehnik
distraksi dn relaksasi sehinggga
dapat mempraktekkannya bila
mengalami nyeri
d. Mengetahui keadaan umum dan
perkembangan kondisi klien.
e. Menghilangkan /mengurangi
keluhan nyeri klien
2. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien tentang
penyakit dan prosedur tindakan medis (irigasi/operasi)
Tujuan : Cemas klien berkurang/hilang
Kriteria :
a. Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola
kopingnya
b. Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya
serta pengobatannya.
Intervensi Rasional
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji tingkat kecemasan klien
b. Berikan kenyamanan dan ketentaman pada
klien :
- Temani klien
- Perlihatkan rasa empati( datang dengan
menyentuh klien )
c. Berikan penjelasan pada klien tentang
penyakit yang dideritanya perlahan, tenang seta
gunakan kalimat yang jelas, singkat mudah
dimengerti
d. Singkirkan stimulasi yang berlebihan
misalnya :
- Tempatkan klien diruangan yang lebih tenang
- Batasi kontak dengan orang lain /klien lain
yang kemungkinan mengalami kecemasan
e. Observasi tanda-tanda vital.
f. Bila perlu , kolaborasi dengan tim medis
a. Menentukan tindakan selanjutnya
b. Memudahkan penerimaan klien
terhadap informasi yang diberikan
c. Meingkatkan pemahaman klien
tentang penyakit dan terapi untuk
penyakit tersebut sehingga klien
lebih kooperatif
d. Dengan menghilangkan stimulus
yang mencemaskan akan
meningkatkan ketenangan klien.
e. Mengetahui perkembangan klien
secara dini.
f. Obat dapat menurunkan tingkat
kecemasan klien
3. Jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obtruksi (penumpukan
secret hidung) sekunder dari peradangan sinus
Tujuan : Jalan nafas efektif setelah secret (seous,purulen) dikeluarkan
Kriteria :
a. Klien tidak bernafas lagi melalui mulut
b. Jalan nafas kembali normal terutama hidung
Intervensi Rasional
INTERVENSI RASIONAL
a. kaji penumpukan secret yang ada
b. Observasi tanda-tanda vital.
c. Koaborasi dengan tim medis untuk
pembersihan sekret
a. Mengetahui tingkat keparahan dan
tindakan selanjutnya
b. Mengetahui perkembangan klien
sebelum dilakukan operasi
c. Kerjasama untuk menghilangkan
penumpukan secret/masalah
4. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan nafus makan menurun sekunder dari peradangan sinus
Tujuan : kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi
Kriteria :
Klien menghabiskan porsi makannya
b. Berat badan tetap (seperti sebelum sakit ) atau bertambah
Intervensi Rasional
INTERVENSI RASIONAL
a. kaji pemenuhan kebutuhan nutrisi
klien
b. Jelaskan pentingnya makanan bagi
proses penyembuhan
c. Catat intake dan output makanan klien.
d. Anjurkan makan sediki-sedikit tapi
sering
e. Sajikan makanan secara menarik
a. Mengetahui kekurangan nutrisi klien
b. Dengan pengetahuan yang baik tentang
nutrisi akan memotivasi meningkatkan
pemenuhan nutrisi
c. Mengetahui perkembangan pemenuhan
nutrisi klien
d. Dengan sedikit tapi sering mengurangi
penekanan yang berlebihan pada lambung
e. Mengkatkan selera makan klien
5. Gangguan istirahat dan tidur berhubungan dengan hidung buntu, nyeri
sekunder dari proses peradangan
Tujuan : klien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman
Kriteria : Klien tidur 6-8 jam sehari
Intervensi Rasional
INTERVENSI RASIONAL
a. kaji kebutuhan tidur klien.
b. ciptakan suasana yang nyaman.
c. Anjurkan klien bernafas lewat mulut
d. Kolaborasi dengan tim medis
pemberian obat
a. Mengetahui permasalahan klien dalam
pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
b. Agar klien dapat tidur dengan tenang
c. Pernafasan tidak terganggu.
d. Pernafasan dapat efektif kembali lewat
hidung
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M. G. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3 EGC, Jakarta 2000
Lab. UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan tenggorokan FK Unair, Pedoman diagnosis
dan Terapi Rumah sakit Umum Daerah dr Soetom FK Unair, Surabaya
Prasetyo B, Ilmu Penyakit THT, EGC Jakarta

SISTEMISC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

A. Pengertian
SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan
fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai
macam autoantibodi dalam tubuh.
B. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam
penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi
sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya
serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
C. Manifestasi Klinis
1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri
ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh
bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
D. Evaluasi Diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil
pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta
penurunan berat badan dan kemungkinan pula artritis, peuritis dan perikarditis.
Pemeriksaan serum : anemia sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis
atau leukopenia dan antibodi antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik
lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis.
E. Penatalaksanaan Medis
1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai
bersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.
2. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan
SLE
3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Anamnesis
Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan
pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah
lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut
terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku
pada pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi
atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea
ataupun manifestasi SSP lainnya.
B. Masalah Keperawatan
1. Nyeri
2. Keletihan
3. Gangguan integritas kulit
4. Kerusakan mobilitas fisik
5. Gangguan citra tubuh
C. Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres
panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal
penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta
sifat kronik penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari
bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum
terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien
untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri,
depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup
sehari-hari yang diperlukan untuk mengubah.
Intervensi :
a. Beri penjelasan tentang keletihan :
1) hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
2) menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara
melaksanakannya
3) mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur
(mandi air hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)
4) menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik,
artikuler dan emosional
5) menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat
tenaga
6) kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
d. Rujuk dan dorong program kondisioning.
e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan
suplemen.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak,
kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang
optimal.
Intervensi :
a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
1) Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
2) Meningkatkan pemakaian alat bantu
3) Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
4) Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.
1) • Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
2) • Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
3) • Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi
4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan
fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta
psikologik yang ditimbulkan enyakit.
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit
dan penanganannya.
b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
1) Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
2) Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
3) Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,
penumpukan kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
c. Hilangkan kelembaban dari kulit
d. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat
penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.
e. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
f. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

SPONDILITIS TUBERCULOSA

Konsep Dasar
1. Pengertian
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa
yang mengenai tulang vertebra (Abdurrahman, et al 1994; 144 )
2. Faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah.
a. Anatomi dan fisiologi
Kolumna vertebra atau rangkaian tulang belakang adalah pilar mobile
melengkung yang kuat sebagai penahan tengkorak, rongga thorak, anggota
gerak atas, membagi berat badan ke anggota gerak bawah dan melindungi
medula spinalis. ( John Gibson MD, 1995 : 25 )
Kolumna vertebra terdiri dari beberapa tulang vertabra yang di hubungkan
oleh diskus Intervertebra dan beberapa ligamen. Masing - masing vertabra di
bentuk oleh tulang Spongiosa yang diisi oleh sumsum merah dan ditutupi oleh
selaput tipis tulang kompakta.
Kolumna vertebra terdiri atas 33 ruas tulang yang terdiri dari :
- 7 ruas tulang cervikal
- 12 ruas tulang thorakal
- 5 ruas tulang lumbal
- 5 ruas tulang sakral ( sacrum )
- 5 ruas tulang ekor ( coccygis )
Vertebra dan persendiannya.
Vertebra memiliki perbedaan yang khas yang memperlihatkan seperti :
Korpus yaitu lempeng tulang yang tebal, dengan permukaan yang agak
melengkung diatas dan bawah .
Arkus vertebra terdiri dari :
1. Pedikulus di sebelah depan : Tulang berbentuk batang memanjang
kebelakang dari korpus, dengan takik pada perbatasan vertebra
membentuk foramen intervertebralis.
2. Lamina di sebelah belakang : lempeng tulang datar memanjang ke
belakang dan ke samping bergabung satu sama lain pada sisi yang
berbeda.
Foramen vertebra : Suatu lubang besar dibatasi oleh korpus pada bagian
depan, pedikulus di samping dan di belakang.
Foremen Transversarium : lubang disamping , diantara dua batasan vertebra ,
di dalamnya terdapat saraf spinal yang bersesuaian.
Processus articularis posterior dan inferior ; berarti kulasi dengan processus
yang serupa pada vertebra diatas dan dibawah.
Processus tranversus : memproyeksikan batang tulang secara tranversal.
Spina : Suatu processus yang mengarah ke belakang dan ke bawah.
Diskus intervertebra adalah diskus yang melekatkan kepermukaan korpus dari
dua takik vertebra : Diskus tersebut terbentuk dari anulus fibrosus,jaringan
fibrokartilago yang berbentuk cincin pada bagian luar, dan nukreus pulposus,
substansi semi-cair yang mengandung beberapa sarat dan terbungkus di dalam
anulus fibrosus.
Ligamentum.
Beberapa ligamentum yang menghubungkan vertebra :
a) Dari Ligamentum longitudinalis anterior melebar ke bawah pada bagian
depan korpus vertebra
b) Ligamentum longitudinalis posterior melebar ke bawah pada bagian
belakang dari korpus vertebra ( yaitu didalam kanalis vertebra ).
c) Ligamen pendek menghubungkan processus tranversus dan spinalis dan
mengelilingi persendian processus artikuler.
Vertebra cervicalis atau ruas tulang leher:
Vertebra cervucalis bentuknya kecil, mempunyai korpus yang tipis, dan
processus tranversus yang di tandai dengan jelas karena mempunyai foramen (
didalamnya terdapat arteri vertebralis ) dan berakhir dalam dua tuberkolosis.
Vertebra torakalis atau ruas tulang punggung :
Vertebra torakalis bentuknya lebih besar daripada yang cervikal dan disebelah
bawah menjadi lebih besar.
Ciri khas vertebra torakalis adalah sebagai berikut :
Badannya berbentuk lebar lonjong ( bentuk jantung ) dengan faset atau
lekukan kecil disetiap sisi untuk menyambung iga, lengkungnya agak kecil,
prosesus panjang dan mengarah kebawah, sedangkan prosesus tranversus ,
yang membantu faset persendian untuk iga.
Vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang :
Vertebra lumbalis bentuknya adalah yang terbesar, badannya sangat besar
dibandingkan dengan badab vertebra yang lainnya dan berbentuk seperti
ginjal, prosesus spinosusnya lebar dan berbentuk seperti kapak kecil, prosesus
tranversusnya panjang dan langsing, ruas kelima membentuk sendi dengan
sakrum pada sendi lumbo sakral.
Sakrum atau tulang kelangkang.
Tulang sakram berbentuk segitiga dan terletak padambagian bawah kolumna
vertebralis, terjepit diantara kedua tulang inominata (atau tulang koxa ) dan
membentuk bagian belakabg rongga pelvis ( panggul ). Dasar dari sakrum
terletak diatas dan bersendi dengan vertebra lumbalis kelima dan membentuk
sendi intervetebra yang khas,tepi anterior dari basis saklrum ,membentuk
promontorium sakralis. Kanalis sakralis terletak dibawah kanalis vertebralis (
saluran tulang belakang ) dan lanjuan dari padanya. Dinding kanalis sakralis
berlubang - lubang untuk dilalui saraf sakral. Prosesus spinosus yang
indemeter dapat dilihat pada pandangan posterior dari sakrum. Permukaan
anterior sakrum adalah lekung dan memperlihatkan empat gili-gili melintang,
yang menandakan tempat penggabungan kelima vertebra sakralis pada ujung
gili-gili ini disetiap sisi terdapat lubang - lubang kecil untuk dilewati urat-urat
saraf. Lubang - lubang ini di sebut foramina. Apex dari sakrum
bersendi,dengan tulang koksigius. Disisinya, sakrum bersendi dengan tulang
ileum dan membentuk sendi sakroiliaka kanan dan kiri.
Koksigeus atau tulang ekor.
Koksigeus terdiri atas empat atau lima vertebra yang rudimater yang
bergabung menjadi satu, di atasnya ia bersendi dengan sakrum ( Evelyn C
pearce 1989 : )
b. Patofisiologi
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya sekunder dari
TBC tempat lain di tubuh. Penyebarannya secara hematogen, di duga terjadinya penyakit
tersebut sering karena penyebaran hematogen dari infeksi traktus urinarius melalui
pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra di tandai dengan proses destruksi tulang progresif
tetapi lambat di bagian depan (anterior vertebral body). Penyebaran dari jaringan yang
mengalami pengejuan akan menghalangi proses pembentukan tulang sehingga berbentuk
"tuberculos squestra". Sedang jaringan granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan
terbentuk abses para vertebral yang dapat menjalar ke atas / bawah lewat ligamentum
longitudinal anterior dan posterior. Sedang diskus Intervertebralis oleh karena avaskular
lebih resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan terjadi penyempitan oleh karena
dirusak jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan
menimbulkan kiposis.
c. Dampak Masalah
a) Terhadap Individu.
Sebagai orang sakit, khusus klien spondilitis tuberkolosa akan
mengalami suatau perubahan, baik iru bio, psiko sosial dan spiritual yang
akan selalu menimbulkan dampak yang di karenakan baik itu oleh proses
penyakit ataupun pengobatan dan perawatan oelh karena adanya
perubahan tersebut akan mempengaruhi pola - pola fungsi kesehatan
antara lain :
1) Pola nutrisi dan metabolisme.
Akibat proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi
lemah dan anoreksia, sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh
semakin meningkat sehingga klien akan mengalami gangguan pada
status nutrisinya.
2) Pola aktifitas.
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik nyeri pada
punggung menyebabkan klien membatasi aktifitas fisik dan
berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktifitas fisik tersebut.
3) Pola persepsi dan konsep diri.
Klien dengan Spondilitis teberkulosa seringkali merasa malu
terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
b) Dampak terhadap keluarga.
Dalam sebuah keluarga, jika salah satu anggota keluarga sakit,
maka yang lain akan merasakan akibatnya yang akan mempengaruhi atau
merubah segala kondisi aktivitas rutin dalam keluarga itu.
B. Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan adalah suatu sistem dalam merencanakan pelayanan
asuhan keperawatan dan juga sebagai alat dalam melaksanakan praktek keperawatan
yang terdiri dari lima tahap yang meliputi : pengkajian, penentuan diagnosa
keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi. ( Lismidar, 1990 : IX ).
1. Pengkajian.
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan.
Pengkajian di lakukan dengan cermat untuk mengenal masalah klien, agar dapat
memeri arah kepada tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan
sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian dalam tahap pengkajian. Tahap
pengkajian terdiri dari tiga kegiatan yaitu : pengumpulan data, pengelomp[okan
data, perumusan diagnosa keperawatan. ( Lismidar 1990 : 1)
a. Pengumpulan data.
Secara tehnis pengumpulan data di lakukan melalui anamnesa baik
pada klien, keluarga maupun orang terdekat dengan klien. Pemeriksaan fisik
di lakukan dengan cara , inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status
perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS
dan diagnosa medis.
2) Riwayat penyakit sekarang.
Keluhan utama pada klien Spodilitis tuberkulosa terdapat nyeri pada punggung
bagian bawah, sehingga mendorong klien berobat kerumah sakit. Pada awal dapat
dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut. Nyeri dirasakan meningkat
pada malam hari dan bertambah berat terutama pada saat pergerakan tulang belakang.
Selain adanya keluhan utama tersebut klien bisa mengeluh, nafsu makan menurun, badan
terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) , keringat dingin dan penurunan berat badan.
3) Riwayat penyakit dahulu
Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasany pada
klien di dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit
tuberkulosis paru. ( R. Sjamsu hidajat, 1997 : 20).
4) Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu
penyebab timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan
penderita lain yang menderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan
keluarga ada yang menderita penyakit menular tersebut.
5) Riwayat psikososial
Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita,
sehingga kan kelihatan sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang
penyakit, pengobatan dan perawatan terhadapnya maka penderita akan
merasa takut dan bertambah cemas sehingga emosinya akan tidak stabil
dan mempengaruhi sosialisai penderita.
6) Pola - pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Adanya tindakan medis serta perawatan di rumah sakit akan
mempengaruhi persepsi klien tentang kebiasaan merawat diri , yang
dikarenakan tidak semua klien mengerti benar perjalanan penyakitnya.
Sehingga menimbulkan salah persepsi dalam pemeliharaan kesehatan.
Dan juga kemungkinan terdapatnya riwayat tentang keadaan
perumahan, gizi dan tingkat ekonomi klien yang mempengaruhi
keadaan kesehatan klien.
b. Pola nutrisi dan metabolisme.
Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya
menjadi lemah dan amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh
semakin meningkat, sehingga klien akan mengalami gangguan pada
status nutrisinya. ( Abdurahman, et al 1994 : 144)
c. Pola eliminasi.
Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang
semula bisa ke kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung
serta dengan adanya penata laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga
kalau mau BAB dan BAK harus ditempat tidur dengan suatu alat.
Dengan adanya perubahan tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan
mengganggu proses aliminasi.
d. Pola aktivitas.
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada
punggung serta penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan
menyebabkan klien membatasi aktivitas fisik dan berkurangnya
kemampuan dalam melaksanakan aktivitas fisik tersebut.
e. Pola tidur dan istirahat.
Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau
dampak hospitalisasi akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan
kebutuhan tidur dan istirahat.
f. Pola hubungan dan peran.
Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami perubahan
peran atau tidak mampu menjalani peran sebagai mana mestinya, baik
itu peran dalam keluarga ataupun masyarakat. Hal tersebut berdampak
terganggunya hubungan interpersonal.
g. Pola persepsi dan konsep diri.
Klien dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali merasa malu
terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
h. Pola sensori dan kognitif.
Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan
terkecuali bila terjadi komplikasi paraplegi.
i. Pola reproduksi seksual.
Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan hubungan badan
akan terganggu untuk sementara waktu, karena di rumah sakit. Tetapi
dalam hal curahan kasih sayang dan perhatian dari pasangan hidupnya
melalui cara merawat sehari - hari tidak terganggu atau dapat
dilaksanakan.
j. Pola penaggulangan stres.
Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum mengerti
penyakitnya , akan mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas yang
menimbulkan rasa stres, klien akan bertanya - tanya tentang
penyakitnya untuk mengurangi stres.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan.
Pada klien yang dalam kehidupan sehari - hari selalu taat
menjalankan ibadah, maka semasa dia sakit ia akan menjalankan
ibadah pula sesuai dengan kemampuannya. Dalam hal ini ibadah bagi
mereka di jalankan pula sebagai penaggulangan stres dengan percaya
pada tuhannya.
7) Pemeriksaan fisik.
a. Inspeksi.
Pada klien dengan Spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan
pada tulang belakang terlihat bentuk kiposis.
b. Palpasi.
Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang belakang
terdapat adanya gibus pada area tulang yang mengalami infeksi.
c. Perkusi.
Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok.
d. Auskultasi.
Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak di temukan kelainan. (
Abdurahman, et al 1994 : 145 ).
8) Hasil pemeriksaan medik dan laboratorium.
a. Radiologi
- Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior,
sangat jarang menyerang area posterior.
- Terdapat penyempitan diskus.
- Gambaran abses para vertebral ( fusi form ).
b. Laboratorium
- Laju endap darah meningkat
c. Tes tuberkulin.
Reaksi tuberkulin biasanya positif.
b. Analisa.
Setelah data di kumpulkan kemudian dikelompokkan menurut data
subjektif yaitu data yang didapat dari pasien sendiri dalm hal komukasi atau
data verbal dan objektiv yaitu data yang didapat dari pengamatan, observasi,
pengukuran dan hasil pemeriksaan radiologi maupun laboratorium. Dari hasil
analisa data dapat disimpulkan masalah yang di alami oleh klien. ( Mi Ja Kim,
et al 1994 ).
1. Diagnosa Keperawatan.
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan dari masalah klien
yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan, yang
pemecahannya dapat dilakukan dalam batas wewenang perawat untuk
melakukannya. ( Tim Departemen Kesehatan RI, 1991 : 17 ).
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien Spondilitis tuberkulosa
adalah:
a. Gangguan mobilitas fisik
b. Gangguan rasa nyaman ; nyeri sendi dan otot.
c. Perubahan konsep diri : Body image.
d. Kurang pengetahuan tentang perawatan di rumah.
( Susan Martin Tucker, 1998 : 445 )
1. Perencanaan Keperawatan.
Perencanaan keperawatan adalah menyusun rencana tindakan keperawatan
yang akan di laksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa
keperawatan yang telah di tentukan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan klien.
( Tim Departemen Kesehatan RI, 1991 :20 ).
Adapun perencanaan masalah yang penulis susun sebagai berikut :
a. Diagnosa Perawatan Satu
Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan muskuloskeletal dan
nyeri.
1. Tujuan
Klien dapat melakukan mobilisasi secara optimal.
2. Kriteria hasil
a) Klien dapat ikut serta dalam program latihan
b) Mencari bantuan sesuai kebutuhan
c) Mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat optimal.
3. Rencana tindakan
a) Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan
kerusakan.
b) Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi.
c) Memelihara bentuk spinal yaitu dengan cara :
1) mattress
2) Bed Board ( tempat tidur dengan alas kayu, atau kasur busa yang
keras yang tidak menimbulkan lekukan saat klien tidur.
d) mempertahankan postur tubuh yang baik dan latihan pernapasan ;
1) Latihan ekstensi batang tubuh baik posisi berdiri ( bersandar pada
tembok ) maupun posisi menelungkup dengan cara mengangkat
ekstremitas atas dan kepala serta ekstremitas bawah secara
bersamaan.
2) Menelungkup sebanyak 3 – 4 kali sehari selama 15 – 30 menit.
3) Latihan pernapasan yang akan dapat meningkatkan kapasitas
pernapasan.
e) monitor tanda –tanda vital setiap 4 jam.
f) Pantau kulit dan membran mukosa terhadap iritasi, kemerahan atau
lecet – lecet.
g) Perbanyak masukan cairan sampai 2500 ml/hari bila tidak ada kontra
indikasi.
h) Berikan anti inflamasi sesuai program dokter. Observasi terhadap efek
samping : bisa tak nyaman pada lambung atau diare.
4. Rasional
a) Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
b) Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
c) Mempertahankan posisi tulang belakang tetap rata.
d) Di lakukan untuk menegakkan postur dan menguatkan otot – otot
paraspinal.
e) Untuk mendeteksi perubahan pada klien.
f) Deteksi diri dari kemungkinan komplikasi imobilisasi.
g) Cairan membantu menjaga faeces tetap lunak.
h) Obat anti inflamasi adalah suatu obat untuk mengurangi peradangan
dan dapat menimbulkan efek samping.
b. Diagnosa Keperawatan Kedua
Gangguan rasa nyaman : nyeri sendi dan otot sehubungan dengan adanya
peradangan sendi.
1) Tujuan
a. Rasa nyaman terpenuhi
b. Nyeri berkurang / hilang
2) Kriteria hasil
a. klien melaporkan penurunan nyeri
b. menunjukkan perilaku yang lebih relaks
c. memperagakan keterampilan reduksi nyeri yang di [elajari dengan
peningkatan keberhasilan.
3) Rencana tindakan
a. Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri; observasi terhadap kemajuan
nyeri ke daerah yang baru.
b. Berikan analgesik sesuai terapi dokter dan kaji efektivitasnya terhadap
nyeri.
c. Gunakan brace punggung atau korset bila di rencanakan demikian.
d. Berikan dorongan untuk mengubah posisi ringan dan sering untuk
meningkatkan rasa nyaman.
e. Ajarkan dan bantu dalam teknik alternatif penatalaksanaan nyeri.
4) Rasional.
a. Nyeri adalah pengalaman subjek yang hanya dapat di gambarkan oleh
klien sendiri.
b. Analgesik adalah obat untuk mengurangi rasa nyeri dan bagaimana
reaksinya terhadap nyeri klien.
c. Korset untuk mempertahankan posisi punggung.
d. Dengan ganti – ganti posisi agar otot – otot tidak terus spasme dan
tegang sehingga otot menjadi lemas dan nyeri berkurang.
e. Metode alternatif seperti relaksasi kadang lebih cepat menghilangkan
nyeri atau dengan mengalihkan perhatian klien sehingga nyeri
berkurang.
c. Diagnosa Keperawatan ketiga
Gangguan citra tubuh sehubungan dengan gangguan struktur tubuh.
1) Tujuan
Klien dapa mengekspresikan perasaannya dan dapat menggunakan koping
yang adaptif.
2) Kriteria hasil
Klien dapat mengungkapkan perasaan / perhatian dan menggunakan
keterampilan koping yang positif dalam mengatasi perubahan citra.
3) Rencana tindakan
a. Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan.
Perawat harus mendengarkan dengan penuh perhatian.
b. Bersama – sama klien mencari alternatif koping yang positif.
c. Kembangkan komunikasi dan bina hubungan antara klien keluarga dan
teman serta berikan aktivitas rekreasi dan permainan guna mengatasi
perubahan body image.
4) Rasional
a. meningkatkan harga diri klien dan membina hubungan saling percaya
dan dengan ungkapan perasaan dapat membantu penerimaan diri.
b. Dukungan perawat pada klien dapat meningkatkan rasa percaya diri
klien.
c. Memberikan semangat bagi klien agar dapat memandang dirinya
secara positif dan tidak merasa rendah diri.
d. Diagnosa Keperawatan keempat
Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurangnya informasi tentang
penatalaksanaan perawatan di rumah.
1) Tujuan
Klien dan keluarga dapat memahami cara perawatan di rumah.
2) Kriteria hasil
a. Klien dapat memperagakan pemasangan dan perawatan brace atau
korset
b. Mengekspresikan pengertian tentang jadwal pengobatan
c. Klien mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit, rencana
pengobatan, dan gejala kemajuan penyakit.
3) Rencana tindakan
a. Diskusikan tentang pengobatan : nama, jadwal, tujuan, dosis dan efek
sampingnya.
b. Peragakan pemasangan dan perawatan brace atau korset.
c. Perbanyak diet nutrisi dan masukan cairan yang adekuat.
d. Tekankan pentingnya lingkungan yang aman untuk mencegah fraktur.
e. Diskusikan tanda dan gejala kemajuan penyakit, peningkatan nyeri dan
mobilitas.
f. Tingkatkan kunjungan tindak lanjut dengan dokter.
1. Pelaksanaan
Yaitu perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan. Instruksi keperawatan
di implementasikan untuk membantu klien memenuhi kriteria hasil.
Komponen tahap Implementasi:
a. tindakan keperawatan mandiri
b. tindakan keperawatan kolaboratif
c. dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan
keperawatan.
Sumber : http://stikep.blogspot.com
Design by Defa Arisandi, A.Md.Kep
( Carol vestal Allen, 1998 : 105 )
1. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan hasil – hasil yang di amati dengan kriteria hasil
yang dibuat pada tahap perencanaan komponen tahap evaluasi.
a. pencapaian kriteria hasil
b. ke efektipan tahap – tahap proses keperawatan
c. revisi atau terminasi rencana asuhan keperawatan.
Adapun kriteria hasil yang di harapkan pada klien Spondilitis tuberkulosa adalah:
1. Adanya peningkatan kegiatan sehari –hari ( ADL) tanpa menimbulkan
gangguan rasa nyaman .
2. Tidak terjadinya deformitas spinal lebih lanjut.
3. Nyeri dapat teratasi
4. Tidak terjadi komplikasi.
5. Memahami cara perawatan dirumah

STRIKTUR URETRA

A. Pendahuluan
Berdasarkan Etiologinya Striktur dibagi dalam 3 jenis, Yaitu stirktur konginetal,
striktur traumatik dan stritur akibat infeksi. Striktur Uretra Kongenital Sering
terjadi di Fosa nafikularis dan Pars membranasea, sifat striktur ini adalah
stationer. Striktur Uretra Traumatik Trauma pada daerah kemaluan dapat
menyebabkan ruptura uretra. Timbul Striktur traumatik dalam waktu satu bulan.
Striktur akibat trauma lebih progresif dari pada striktur akibat infeksi. Pada
ruptura uretra ditemukan hematuri gross. Striktur akibat Infeksi Jenis ini biasanya
disebabkan oleh infeksi Veneral. Timbulnya lebih lambat dari pada triktur
traumatik.
Gambaran Klinik : Pancaran kecil, lemah dan sering disertai mengejan, biasanya
karena ada retensio urin serta timbul gejala-gejala sistitis. Gejala ini timbul
perlahan-lahan selama beberapa bulan atau bertahun-tahun , apa bila satu hari
pancaran normal kemudian hari berikutnya pancaran kecil dan lemah jangan
dipikirkan striktur uretra tetapi ke arah batu buli-buli yang turun ke uretra.
Diagnosis : Dengan anamnesis yang baik, diagnosa striktura uretra dapat
ditegakkan. Apalagi bila ada riwayat infeksi veneral atau “Straddle Injury”.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan Uretrosistograf.
Ke dalam lumen uretra dimasukkan zat kontras, kemudian difoto sehingga dapat
dilihat seluruh saluran uretra dan buli-buli.
Dari foto tersebut dapat ditentukan :
1. Lokasi striktur : terletak proksimal atau distal dari sphincter , sebab ini
penting untuk tindakan operasi
2. Besar kecilnya striktur
3. Panjang striktur
4. Jenis strikturnya.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian :
a. Inspeksi :
a) Memeriksa uretra dari bagian meatus dan jaringan sekitarnya
b) Observasi adanya penyempitan, perdarahan, mukus atau cairan
purulent ( nanah )
c) Observasi kulit dan mukosa membran disekitar jaringan
d) Perhatikan adanya lesi hiperemi atau keadaan abnormal lainnya pada
penis, scrotom, labia dan orifisium Vagina.
e) Iritasi pada uretra ditunjukan pada klien dengan keluhan ketidak
nyamanan pada saat akan mixi.
b. Pengkajian Psikososial :
a) Respon emosional pada penderita sistim perkemihan, yaitu : menarik
diri, cemas, kelemahan, gelisah, dan kesakitan.
b) Respon emosi pada pada perubahan masalah pada gambaran diri, takut
dan kemampuan seks menurun dan takut akan kematian. Pengkajian
Diagnostik
c) Sedimen urine untuk mengetahui partikel-partikel urin yaitu sel,
eritrosit, leukosit, bakteria, kristal, dan protein.
d) Urine kultur
2. Diagnosa Perawatan yang sering timbul:
a. Nyeri sehubungan dengan penyempitan pada uretra
b. Potensial infeksi sehubungan dengan luka trauma pada uretra
c. Potensial infeksi sehubungan dengan faktor resiko obstruksi
d. Cemas sehubungan dengan ketidaknyamanan pada proses miksi dan
fungsi seksual menurun.
e. Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurangnya informasi ntuk
mencegah terjadi sakit yang berulang.
3. Pentalaksanaan
Intervensi
a. Tingkatkan kemampuan pada : Hygiene perorangan, eliminasi, dan
pergerakkan.
b. Jelaskan tentang pentingnya kebersihan kelamin (pada wanita catat bila
terjadi kelainan pada vagina).
c. Hindari penggunaan bedak pada kelamin.
d. Jelaskan tehnik penanmpungan urine bila terjadi gangguan ( perdarahan )
e. Bila perlu disarankan untuk sirkumsisi.
Rasional :
Untuk mencegah terjadinya infeksi dan injuri.
Intervensi
Ganti alat tenun secara periodik.
Rasional
Meningkatkan relaksasi keyamanan pada saat bedrest.
Intervensi
Observasi tanda-tanda vital.
Rasional
Syok neurogenik terjadi akibat nyeri berlebihan, tanda-tanda vital merupakan
deteksi dini dari tanda-tanda syok.
Intervensi
Bantu aktifitas jika diperlukan (turun dari tempat tidur, pergerakkan, dan lainlain)
Rasional
Mencegah terjadinya cedera
Intervensi
Mengatasi kecemasan
Rasional
Dengan mengurangi rasa cemas dapat membantu proses penyembuhan.
Intervensi
Kolaborasi : Berikan obat-obatan : analgetik, untuk mengatasi nyeri
Rasional
Obat-obat narkotik, analgetik : Oxybutimin cloride (diazepam) dan
propantelin bromid (pro-banthin)
Sumber : http://stikep.blogspot.com
Design by Defa Arisandi, A.Md.Kep
Daftar Pustaka
Purnawan Junadi, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke 2. Media Aeskulapius, FKUI
1982. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI 1990.
Sylvia Anderson Price, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih
Bahasa Adji Dharma, Edisi II.
Marllyn E. Doengoes, Nursing Care Plan, Fa. Davis Company, Philadelpia, 1987.

STROKE HAEMOREGIC

A. Pengertian
Stroke secara umum merupakan defisit neurologis yang mempunyai serangan mendadak
dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari terganggunya pembuluh darah otak (hudak
dan Gallo, 1997)
Stroke digunakan untuk menamakan sindrome hemiparese atau hemiparalisis akibat lesi
vascular, yang secara tiba tiba daerah otak tidak menerima darah karena arteri yang
memperdarahi daerah tersebut tersumbat, putus atau pecah.
B. STROKE HAEMORAGIK
Adalah bagian dari klasifikasi stroke, dimana perdarahan intra cerebral dan mungkin
perdarahan sub arachnoid yang disebabkan karena pecahnya pembuluh darah otak pada
daerah tertentu. Kejadian biasanya saat melakukan aktifitas, namun dapat juga saat
istirahat dan kesadaran pasien umunya menurun.
C. PATOFISIOLOGI
D. FAKTOR RESIKO
Hipertensi, perokok, penyakit jantung terutama artrial fibrilasi, cerebral aneurisma,
aterosclerosis, stroke sebelumnya atau TIA, Diabetes, Polisitemia, usila
E. GEJALA KLINIK
· mendadak, nyeri kepala
· Paraesthesia, paresis,Plegia sebagian badan
· Dysphagia
· Aphasia
· Gangguan penglihatan
· Perubahan kemampuan kognitif
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
· CT Scan : Haemoragi: sub dural, sub aracnoid, intra cerebral. Edema, Iskemia
· EEG : Mengidentifikasi area lesi dan gelombang listrik
· Angiografi : Haemoragi, obstruksi arteri, oklusi dan ruptur
· MRI : Infark, perdarahan, kelainan arteri venous
· Lumbal Punksi : Pada perdarahan Sub Arachnoid dan intra cerebral cairan cerebro
spinal
mengandung darah
G. PENATALAKSANAAN
1. Phase Akut:
· Pertahankan fungsi vital: jalan nafas, pernafasan, oksigenisasi dan sirkulasi
· Reperfusi dengan trombolityk atau vasodilation: Nimotop
· Pencegahan peningkatan TIK
· Mengurangi edema cerebral dengan diuretik
2. Post phase akut
· Pencegahan spatik paralisis dengan antispasmodik
· Program fisiotherapi
· Penangan masalah psikososial
H. PENGKAJIAN KEPERAWATAN UTAMA
· Monitor tanda vital
· Monitor tingkat kesadaran
· Mengkaji fungsi eliminasi
· Mengkaji adanya gerakan involunter
· Mengkaji kemampuan ADLs
· Mengkaji kemampuan gerakan-otot
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
· Nyeri kepala b.d. gangguan vascular cerebral: perdarahan cerebral
· Gangguan perfuisi jaringan otak b.d edema cerebral
· Self care deficit b.d parsial paralisis
· Gangguan mobilitas fisik b.d kelemahan fisik/motorik
· Konstipasi b.d. gangguan sensorik motorik
· Cemas b.d. kurangnya pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya
· Resiko terjadi gangguan integritas kulit b.d bed rest yang lama

STROKE NON HEMORAGIK

A. Definisi
Gangguan peredaran darah diotak (GPDO) atau dikenal dengan CVA ( Cerebro
Vaskuar Accident) adalah gangguan fungsi syaraf yang disebabkan oleh
gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak ( dalam
beberapa detik) atau secara cepat ( dalam beberapa jam ) dengan gejala atau tanda
yang sesuai dengan daerah yang terganggu.(Harsono,1996, hal 67)
Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah
kulminasi penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun. (Smeltzer C.
Suzanne, 2002, hal 2131)
Penyakit ini merupakan peringkat ketiga penyebab kematian di United State.
Akibat stroke pada setiap tingkat umur tapi yang paling sering pada usia antara 75
– 85 tahun. (Long. C, Barbara;1996, hal 176).
B. Etiologi
Penyebab-penyebabnya antara lain:
1. Trombosis ( bekuan cairan di dalam pembuluh darah otak )
2. Embolisme cerebral ( bekuan darah atau material lain )
3. Iskemia ( Penurunan aliran darah ke area otak) (Smeltzer C. Suzanne, 2002,
hal 2131)
C. Faktor resiko pada stroke
1. Hipertensi
2. Penyakit kardiovaskuler: arteria koronaria, gagal jantung kongestif, fibrilasi
atrium, penyakit jantung kongestif)
3. Kolesterol tinggi
4. Obesitas
5. Peningkatan hematokrit ( resiko infark serebral)
6. Diabetes Melitus ( berkaitan dengan aterogenesis terakselerasi)
7. Kontrasepasi oral( khususnya dengan disertai hipertensi, merkok, dan kadar estrogen tinggi)
8. Penyalahgunaan obat ( kokain)
9. Konsumsi alkohol (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)
D. Manifestasi klinis
Gejala - gejala CVA muncul akibat daerah tertentu tak berfungsi yang disebabkan
oleh terganggunya aliran darah ke tempat tersebut. Gejala itu muncul bervariasi,
bergantung bagian otak yang terganggu. Gejala-gejala itu antara lain bersifat:
a) Sementara
Timbul hanya sebentar selama beberapa menit sampai beberapa jam dan
hilang sendiri dengan atau tanpa pengobatan. Hal ini disebut Transient
ischemic attack (TIA). Serangan bisa muncul lagi dalam wujud sama,
memperberat atau malah menetap.
b) Sementara,namun lebih dari 24 jam
Gejala timbul lebih dari 24 jam dan ini dissebut reversible ischemic
neurologic defisit (RIND)
c) Gejala makin lama makin berat (progresif)
Hal ini desebabkan gangguan aliran darah makin lama makin berat yang
disebut progressing stroke atau stroke inevolution
d) Sudah menetap/permanen (Harsono,1996, hal 67)
E. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan
Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark
2. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan
atau obstruksi arteri
3. Pungsi Lumbal
a) menunjukan adanya tekanan normal
b) tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan
4. MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.
5. EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
6. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena
7. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal
(DoengesE, Marilynn,2000 hal 292)
F. Penatalaksanaan
1. Diuretika : untuk menurunkan edema serebral .
2. Anti koagulan: Mencegah memberatnya trombosis dan embolisasi.
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)
G. Komplikasi
1. Hipoksia Serebral
2. Penurunan darah serebral
3. Luasnya area cedera (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)
H. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret
akibat kelemahan reflek batuk
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya
pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi
/aspirasi
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut,
takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan
membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
2. Pengkajian Sekunder
a. Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
1) kesulitan dalam beraktivitas ; kelemahan, kehilangan sensasi atau
paralysis.
2) mudah lelah, kesulitan istirahat ( nyeri atau kejang otot )
Data obyektif:
1) Perubahan tingkat kesadaran
2) Perubahan tonus otot ( flaksid atau spastic), paraliysis ( hemiplegia ) ,
kelemahan umum.
3) gangguan penglihatan
b. Sirkulasi
Data Subyektif:
1) Riwayat penyakit jantung ( penyakit katup jantung, disritmia, gagal
jantung , endokarditis bacterial ), polisitemia.
Data obyektif:
1) Hipertensi arterial
2) Disritmia, perubahan EKG
3) Pulsasi : kemungkinan bervariasi
4) Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal
c. Integritas ego
Data Subyektif:
1) Perasaan tidak berdaya, hilang harapan
Data obyektif:
1) Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan ,
kegembiraan
2) kesulitan berekspresi diri
d. Eliminasi
Data Subyektif:
1) Inkontinensia, anuria
2) distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh ), tidak adanya suara
usus( ileus paralitik )
e. Makan/ minum
Data Subyektif:
1) Nafsu makan hilang
2) Nausea / vomitus menandakan adanya PTIK
3) Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan, disfagia
4) Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah
Data obyektif:
1) Problem dalam mengunyah ( menurunnya reflek palatum dan faring )
2) Obesitas ( factor resiko )
f. Sensori neural
Data Subyektif:
1) Pusing / syncope ( sebelum CVA / sementara selama TIA )
2) nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub
arachnoid.
3) Kelemahan, kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti
lumpuh/mati
4) Penglihatan berkurang
5) Sentuhan : kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas dan
pada muka ipsilateral ( sisi yang sama )
6) Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
Data obyektif:
1) Status mental ; koma biasanya menandai stadium perdarahan ,
gangguan tingkah laku (seperti: letergi, apatis, menyerang) dan
gangguan fungsi kognitif
2) Ekstremitas : kelemahan / paraliysis ( kontralateral pada semua jenis
stroke, genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek tendon
dalam ( kontralateral )
3) Wajah: paralisis / parese ( ipsilateral )
4) Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan
ekspresif/ kesulitan berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata
komprehensif, global / kombinasi dari keduanya.
5) Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran, stimuli
taktil
6) Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik
7) Reaksi dan ukuran pupil : tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada
sisi ipsi lateral
g. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
1) Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya
Data obyektif:
1) Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot / fasial
h. Respirasi
Data Subyektif:
1) Perokok ( factor resiko )
i. Keamanan
Data obyektif:
1) Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan
2) Perubahan persepsi terhadap tubuh, kesulitan untuk melihat objek, hilang
kewasadaan terhadap bagian tubuh yang sakit
3) Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah
dikenali
4) Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu
tubuh
5) Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan,
berkurang kesadaran diri
j. Interaksi social
Data obyektif:
1) Problem berbicara, ketidakmampuan berkomunikasi. (Doenges E,
Marilynn,2000 hal 292)
I. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d terputusnya aliran darah : penyakit
oklusi, perdarahan, spasme pembuluh darah serebral, edema serebral
Dibuktikan oleh :
a) Perubahan tingkat kesadaran , kehilangan memori
b) Perubahan respon sensorik / motorik, kegelisahan
c) Deficit sensori , bahasa, intelektual dan emosional
d) Perubahan tanda tanda vital
Tujuan Pasien / criteria evaluasi ;
a) Terpelihara dan meningkatnya tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi
sensori / motor
b) Menampakan stabilisasi tanda vital dan tidak ada PTIK
c) Peran pasien menampakan tidak adanya kemunduran / kekambuhan
Intervensi :
Independen
a) Tentukan factor factor yang berhubungan dengan situasi individu/
penyebab koma / penurunan perfusi serebral dan potensial PTIK
b) Monitor dan catat status neurologist secara teratur
c) Monitor tanda tanda vital
d) Evaluasi pupil (ukuran bentuk kesamaan dan reaksi terhadap cahaya )
e) Bantu untuk mengubah pandangan , misalnay pandangan kabur,
perubahan lapang pandang / persepsi lapang pandang
f) Bantu meningkatakan fungsi, termasuk bicara jika pasien mengalami
gangguan fungsi
g) Kepala dielevasikan perlahan lahan pada posisi netral .
h) Pertahankan tirah baring , sediakan lingkungan yang tenang , atur
kunjungan sesuai indikasi
Kolaborasi
a) berikan suplemen oksigen sesuai indikasi
b) berikan medikasi sesuai indikasi :
1) Antifibrolitik, misal aminocaproic acid ( amicar )
2) Antihipertensi
3) Vasodilator perifer, missal cyclandelate, isoxsuprine.
4) Manitol
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d kerusakan batuk, ketidakmampuan
mengatasi lendir
Kriteria hasil:
a) Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas
b) Ekspansi dada simetris
c) Bunyi napas bersih saat auskultasi
d) Tidak terdapat tanda distress pernapasan
e) GDA dan tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
a) Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi
b) Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan napas dan
memberikan pengeluaran sekresi yang optimal
c) Penghisapan sekresi
d) Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam
e) Berikan oksigenasi sesuai advis
f) Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi
3. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan
Tujuan : Pola nafas efektif
Kriteria hasil:
a) RR 18-20 x permenit
b) Ekspansi dada normal
Intervensi :
a) Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.
b) Auskultasi bunyi nafas.
c) Pantau penurunan bunyi nafas.
d) Pastikan kepatenan O2 binasal
e) Berikan posisi yang nyaman : semi fowler
f) Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam
g) Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan
Daftar Pustaka
Long C, Barbara, Perawatan Medikal Bedah, Jilid 2, Bandung, Yayasan Ikatan Alumni
Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996
Tuti Pahria, dkk, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan Sistem Persyarafan,
Jakarta, EGC, 1993
Pusat pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, Asuhan Keperawatan Klien
Dengan Gangguan Sistem Persarafan , Jakarta, Depkes, 1996
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,
Jakarta, EGC ,2002
Marilynn E, Doengoes, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta, EGC, 2000
Harsono, Buku Ajar : Neurologi Klinis,Yogyakarta, Gajah Mada university press, 1996

TETANUS

A. Defenisi
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman
Clostridium tetani, bermanisfestasi dengan kejang otot secara proksimal dan
diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot massater dan otot-otot
rangka
B. Etiologi
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4
– 0,5 milimikron yang berspora termasuk golongan gram positif dan hidupnya
anaerob. Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini
(tetanuspasmin) mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer
setempat. Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 65 0 C akan hancur dalam
lima menit. Disamping itu dikenal pula tetanolysin yang bersifat hemolisis, yang
peranannya kurang berarti dalam proses penyakit.
C. Patofisiologi
Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti luka tertusuk paku,
pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka yang kototr dan pada
bayi dapat melalui tali pusat. Organisme multipel membentuk 2 toksin yaitu
tetanuspasmin yang merupakan toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat
menyebabkan ketegangan dan spasme otot, dan mempngaruhi sistem saraf pusat.
Eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf pusat dengan
melewati akson neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu
saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik.
Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh
aritititoksin. Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin
diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawah ke korno
anterior susunan saraf pusat. Kedua, toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik,
masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf
pusat. Toksin bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot-otot
menjadi kejang dan mudah sekali terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2
bulan dan rata-rata 10 hari .
D. Gejala klinis
Timbulnya gejala klinis biasanya mendadak, didahului dengan ketgangan otot
terutama pada rahang dan leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut
(trismus) karena spsme otot massater. Kejang otot ini akan berlanjut ke kuduk
(opistotonus) dinding perut dan sepanjang tulang belakang. Bila serangan kejang
tonik sedang berlangsung serimng tampak risus sardonukus karena spsme otot
muka dengan gambaran alsi tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke
bawah, bibir tertekan kuat pada gigi. Gambaran umum yang khas pada tetanus
adalah berupa badan kaku dengan epistotonus, tungkai dalam ekstrensi lengan
kaku dan tangan mengapal biasanya kesadaran tetap baik. Serangan timbul
paroksimal, dapat dicetus oleh rangsangan suara, cahaya maupun sentuhan, akan
tetapi dapat pula timbul spontan. Karena kontraksi otot sangat kuat dapat terjadi
asfiksia dan sianosis, retensi urin bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis
(pada anak). Kadang dijumpai demam yang ringan dan biasanya pada stadium
akhir
E. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada
rahang
b. Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L
F. Komplikasi
a. Bronkopneumoni
b. Asfiksia dan sianosis
G. Pengobatan
a. Anti Toksin : ATS 500 U IM dilanjutkan dengan dosis harian 500-1000 U
b. Anti kejang : Diazepam 0,5-1,0 mg/kg BB / 4 jam IM Efek samping stupor,
koma
c. Antibiotik : Pemberian penisilin prokain 1,2 juta U/hari
H. Pencegahan
Pencegahan penyakit tetanus meliputi :
1. Anak mendapatkan imunisasi DPT diusia 3-11 Bulan
2. Ibu hamil mendapatkan suntikan TT minimal 2 X
3. Pencegahan terjadinya luka & merawat luka secara adekuat
4. Pemberian anti tetanus serum
I. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, tanggal
masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medik, rencana terapi
b. Identitas orang tua:
1) Ayah : nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat.
2) Ibu : nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat
c. Identitas sudara kandung
2. Keluhan utama/alasan masuk RS.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
b. Riwayat kesehatan masa lalu
1) § Ante natal care
2) § Natal
3) § Post natal care
c. Riwayat kesehatan keluarga
4. Riwayat imunisasi
5. Riwayat tumbuh kembang
a. Pertumbuhan fisik
b. Perkembangan tiap tahap
6. Riwayat Nutrisi
a. Pemberin asi
b. Susu Formula
c. Pemberian makanan tambahan
d. Pola perubahan nutrisi tiap tahap usia sampai nutrisi saat ini
7. Riwayat Psikososial
8. Riwayat Spiritual
9. Reaksi Hospitalisasi
Pemahaman keluarga tentang sakit yang rawat nginap
10. Aktifitas sehari-hari
a. Nutrisi
b. Cairan
c. Eliminasi BAB/BAK
d. Istirahat tidur
e. Olahraga
f. Personal Hygiene
g. Aktifitas/mobilitas fisik
h. Rekreasi
11. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum klien
b. Tanda-tanda vital
c. Antropometri
d. Sistem pernafasan
e. Sistem Cardio Vaskuler
f. Sistem Pencernaan
g. Sistem Indra
h. Sistem muskulo skeletal
i. Sistem integumen
j. Sistem Endokrin
k. Sistem perkemihan
l. Sistem reproduksi
m. Sistem imun
n. Sistem saraf : Fungsi cerebral, fungsi kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, fungsi
cerebelum, refleks, iritasi meningen
12. Pemeriksaan tingkat perkembangan
a. 0 – 6 tahun dengan menggunakan DDST (motorik kasar, motorik halus, bahasa,
personal sosial)
b. 6 tahun keatas (perkembangan kognitif, Psikoseksual, Psikososial)
13. Tes Diagnostik
14. Terapi
Diagnosa Keperawatan
1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan meningkatnya
sekretsi atau produksi mukus
2. Defisit velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketegangan dan
spasme otot mastikatoris , kesukaran menelan dan membuka mulut
4. Resiko aspirasi berhubungan dengan meningkatknya sekresi, kesukaran
menelan, dan spasme otot faring.
5. Resiko injuri berhubungan dengan aktifitas kejang
6. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan aktifitas tatanuslysin
7. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan aktifitas
kejang
8. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit berhubungan dengan
perubahan status kesehatan, penata laksanaan gangguan kejang
9. Cemas berhubungan dengan kemungkinan injuri selama kejang
Rencana Keperawatan dan Rasional
Dx. 1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan meningkatnya sekretsi
atau produksi mukus.
Tujuan : Anak memperlihatkan kepatenan jalan nafas dengan kriteria jalan nafas bersih,
tidak ada sekresi
Intervensi
a. Kaji status pernafasan, frekwensi, irama, setiap 2 – 4 jam
b. Lakukan pengisapan lendir dengan hati-hati dan pasti bila ada penumpukan sekret
c. Gunakan sudip lidah saat kejang
d. Miringkan ke samping untuk drainage
e. Observasi oksigen sesuai program
f. Pemberian sedativa Diazepam drip 10 Amp (hari pertama dan setiap hari dikurangi 1
amp)
g. Pertahankan kepatenan jalan nafas dan bersihkan mulut
Rasional
a) Takipnu, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris sering terjadi karena
adanya sekret
b) Menurunkan resiko aspirasi atau aspeksia dan osbtruksi
c) Menghindari tergigitnya lidah dan memberi sokongan pernafasan jika diperlukan
d) Memudahkan dan meningkatkan aliran sekret dan mencegah lidah jatuh yang
menyumbat jalan nafas
e) Memaksimalkan oksigen untuk kebutuhan tubuh dan membantu dalam pencegahan
hipoksia
f) Mengurangi rangsangan kejang
g) Memaksimalkan fungsi pernafasan untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap
oksigen dan pencegahan hipoksia
Dx. 2. Defisit velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat
Tujuan : Anak tidak memperlihatkan kekurangan velume cairan yang dengan kriteria:
Membran mukosa lembab, Turgor kulit baik
Intervensi
1. Kaji intake dan out put setiap 24 jam
2. Kaji tanda-tanda dehidrasi, membran mukosa, dan turgor kulit setiap 24 jam
3. Berikan dan pertahankan intake oral dan parenteral sesuai indikasi ( infus 12 tts/m,
NGT 40 cc/4 jam) dan disesuaikan dengan perkembangan kondisi pasien
4. Monitor berat jenis urine dan pengeluarannya
5. Pertahankan kepatenan NGT
Rasional
1. Memberikan informasi tentang status cairan /volume sirkulasi dan kebutuhan
penggantian
2. Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler
3. Mempertahankan kebutuhan cairan tubuh
4. Penurunan keluaran urine pekat dan peningkatan berat jenis urine diduga dehidrasi/
peningkatan kebutuhan cairan
5. Mempertahankan intake nutrisi untuk kebutuhan tubuh
Dx. 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketegangan dan
spasme otot mastikatoris , kesukaran menelan dan membuka mulut
Tujuan : Status nutrisi anak terpenuhi dengan kriteria:
1. Berat badan sesuai usia
2. makanan 90 % dapat dikonsumsi
3. Jenis makanan yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan gizi anak (protein,
karbohidrat, lemak dan viotamin seimbang
Intervensi
1. Pasang dan pertahankan NGT untuk intake makanan
2. Kaji bising usus bila perlu, dan hati-hati karena sentuhan dapat merangsang kejang
3. Berikan nutrisi yang tinggi kalori dan protein
4. Timbang berat badan sesuai protokol
Rasional
1. Intake nutrisi yang seimbang dan adekuat akan mempertahankan kebutuhan nutrisi
tubuh
2. Bising usus membantu dalam menentukan respon untuk makan atau mengetahui
kemungkinan komplikasi dan mengetahui penurunan obsrobsi air.
3. Suplay Kalori dan protein yang adekuat mempertahankan metabolisme tubuh
4. Mengevalusai kefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi
Dx. 4. Resiko aspirasi berhubungan dengan meningkatknya sekresi, kesukaran menelan,
dan spasme otot faring.
Tujuan : Tidak terjadi aspirasi dengan kriteria:
1. Jalan nafas bersih dan tidak ada sekret
2. Pernafasan teratur
Intervensi
1. Kaji status pernafasan setiap 2-4 jam
2. Lakukan pengisapan lendir dengan hati-hati
3. Gunakan sudip lidah saat kejang
4. Miringkan ke samping untuk drainage
5. Pemberian oksigen 0,5 Liter
6. Pemberian sedativa sesuai program
7. Pertahankan kepatenan jalan nafas dan bersihkan mulut
Rasional
1. Takipnu, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris sering terjadi karena
adanya sekret
2. Menurunkan resiko aspirasi atau aspiksia dan osbtruksi
3. Menghindari tergigitnya lidah dan memberi sokongan pernafasan jika diperlukan
4. Memudahkan dan meningkatkan aliran sekret dan mencegah lidah jatuh yang
menyumbat jalan nafas
5. Memaksimalkan oksigen untuk kebutuhan tubuh dan membantu dalam pencegahan
hipoksia
6. Mengurangi rangsangan kejang
7. Memaksimalkan fungsi pernafasan untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap
oksigen dan pencegahan hipoksia
Dx. 5. Resiko injuri berhubungan dengan aktifitas kejang
Tujuan : Cedera tidak terjadi dengan kriteria
1. Klien tidak ada cedera
2. Tidur dengan tempat tidur yang terpasang pengaman
Intervensi
1. Identifikasi dan hindari faktor pencetus
2. Tempatkan pasien pada tempat tidur pada pasien yang memakai pengaman
3. Sediakan disamping tempat tidur tongue spatel
4. Lindungi pasien pada saat kejang
5. Catat penyebab mulai terjadinya kejang
Rasional
1. Menghindari kemungkinan terjadinya cedera akibat dari stimulus kejang
2. Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang
3. Antisipasi dini pertolongan kejang akan mengurangi resiko yang dapat memperberat
kondisi klien
4. Mncegah terjadinya benturan/trauma yang memungkinkan terjadinya cedera fisik
5. Pendokumentasian yang akurat, memudah-kan pengontrolan dan identifikasi kejang
Dx. 6. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tetanus lysin , pembatasan
aktifitas (immobilisasi)
Tujuan : Tidak terjadi kerusakan integritas kulit, dengan kriteria : Tidak ada kemerahan ,
lesi dan edema
Intervensi
1. Observai adanya kemerahan pada kulit
3. Rubah posisi secara teratur
4. Anjurkan kepada orang tua pasien untuk memakaikan katun yang longgar
5. Pantau masukan cairan, hidrasi kulit dan membran mukosa
6. Pertahankan hygiene kulit dengan mengeringkan dan melakukan masagge dengan
lotion
Rasional
1. Kemerahan menandakan adanya area sirkulasi yang buruk dan kerusakan yang dapat
menimbulkan dikubitus
2. Mengurangi stres pada titik tekanan sehingga meningkatkan aliran darah ke jaringan
yang mempercepat proses kesembuhan
3. Mencegah iritasi kulti secara langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit
4. Mendeteksi adanya dehidrasi/overhidrasi yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas
jaringan
5. Mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi
dan masagge dapat meningkatkan sirkulasi kulit
Dx. 7. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan aktifitas kejang
Tujuan : Kebutuhan aktifitas sehari-hari/perawatan diri terpenuhi, dengan kriteria
Tempat tidur bersih,Tubuh anak bersih,Tidak ada iritasi pada kulit, BAB/BAK dapat
dibantu.
Intervensi
1. Pemenuhan kebutuhan aktifitas sehari-hari
2. Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktifitas , BAB/BAK, membersihkan tempat
tidur dan kebersihan diri
3. Berikan makanan perparenteral
4. Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Rasional
1. Kebutuhan sehari-hari terpenuhi secara adekuat dapat membantu proses kesembuhan
2. Memenuhi kebutuhan nutrisi klien
3. Orang tua mandiri dalam merawat anak di rumah sakit
Dx. 8. Cemas berhubungan dengan kemungkinan injuri selama kejang
Tujuan : Orang tua menunjukan rasa cemas berkurang dan dapat mengekspresikan
perasaan tentang kondisi anak yang dialami, dengan kriteria : Orang tua klien tidak cemas
dan gelisah.
Intervensi
1. Jelaskan tentang aktifitas kejang yang terjadi pada anak
2. Ajarkan orang tua untuk mengekspresikan perasaannya tentang kondisi anaknya
3. Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan
4. Gunakan komunikasi dan sentuhan terapetik
Rasional
1. Pengetahuan tentang aktifitas kejang yang memadai dapat mengurangi kecemasan
2. Ekspresi/ eksploitasi perasaan orang tua secara verbal dapat membantu mengetahui
tingkat kecemasan
3. Pengetahuan tentang prosedur tindakan akan membantu menurunkan /
menghilangkan kecemasan
4. Memberikan ketenangan dan memenuhi rasa kenyamanan bagi keluarga

TUBERKULOSIS PARU

1. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tubeculosis.
2. Etiologi
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikrobakterium
tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang
1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid).
Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap
gangguan kimia dan fisik.
Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan
bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat
dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan
tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa
kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini
tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lainnya, sehingga bagian
apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi penting saluran pernapasan. Basil
mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet
infection) sampai alveoli, maka terjadilah infeksi primer (ghon) selanjutnya menyebar
kekelenjar getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks (ranke). keduanya
dinamakan tuberkulosis primer, yang dalam perjalanannya sebagian besar akan
mengalami penyembuhan. Tuberkulosis paru primer, peradangan terjadi sebelum tubuh
mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil mikobakterium. Tuberkulosis yang
kebanyakan didapatkan pad usia 1-3 tahun. Sedangkan yang disebut tuberkulosis post
primer (reinfection) adalah peradangan jaringan paru oleh karena terjadi penularan ulang
yang mana di dalam tubuh terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil tersebut.
3. Proses Penularan
Tuberkulosis tergolong airborne disease yakni penularan melalui droplet nuclei yang
dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi dalam fase aktif. Setiapkali penderita ini
batuk dapat mengeluarkan 3000 droplet nuclei. Penularan umumnya terjadi di dalam
ruangan dimana droplet nuclei dapat tinggal di udara dalam waktu lebih lama. Di bawah
sinar matahari langsung basil tuberkel mati dengan cepat tetapi dalam ruang yang gelap
lembab dapat bertahan sampai beberapa jam. Dua faktor penentu keberhasilan pemaparan
Tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet nuclei dalam udara dan
panjang waktu individu bernapas dalam udara yang terkontaminasi tersebut di samping
daya tahan tubuh yang bersangkutan.
Di samping penularan melalui saluran pernapasan (paling sering), M. tuberculosis juga
dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit
(lebih jarang).
4. Insiden
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit yang sangat epidemik karena kuman
mikrobakterium tuberkulosa telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Program
penaggulangan secara terpadu baru dilakkan pada tahun 1995 melalui strategi DOTS
(directly observed treatment shortcourse chemoterapy), meskipun sejak tahun 1993 telah
dicanangkan kedaruratan global penyakit tuberkulosis. Kegelisahan global ini didasarkan
pada fakta bahwa pada sebagian besar negara di dunia, penyakit tuberkulosis tidak
terkendali, hal ini disebabkan banyak penderita yang tidak berhasil disembuhkan,
terutama penderita menular (BTA positif).
Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar sembilan juta penderita dengan
kematian tiga juta orang (WHO, 1997). Di negara-negara berkembang kematian karena
penyakit ini merupakan 25 % dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah.
Diperkirakan 95 % penyakit tuberkulosis berada di negara berkembang, 75 % adalah
kelompok usia produktif (15-50 tahun). Tuberkulosis juga telah menyebabkan kematian
lebih banyak terhadap wanita dibandingkan dengan kasus kematian karena kehamilan,
persalinan dan nifas.
Di indonesia pada tahun yang sama, hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT)
menunjukkan bahwa penyakit tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah penyakit jantung dan penyakit infeksi saluran pernapasan pada semua kelompok
usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. WHO memperkirakan setiap tahun
menjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis dengan kematian sekitar 140.000. secara kasar
diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru tuberkulosis
dengan BTA positif.
5. Anatomi dan Fisiologi
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, farinx, larinx
trachea, bronkus, dan bronkiolus. Hidung ; Nares anterior adalah saluran-saluran di
dalam. rongga hidung. Saluran-saluran itu bermuara ke dalam bagian yang dikenal
sebagai vestibulum. (rongga) hidung. Rongga hidung dilapisi sebagai selaput lendir yang
sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan farinx dan dengan
selaput lendir sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam. rongga hidung. Farinx
(tekak) ; adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya
dengan oesopagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Maka ‘letaknya di belakang
larinx (larinx-faringeal).
Laringx (tenggorok) terletak di depan bagian terendah farinx yang mernisahkan dari
columna vertebrata, berjalan dari farinx. sampai ketinggian vertebrata servikals dan
masuk ke dalarn trachea di bawahnya. Larynx terdiri atas kepingan tulang rawan yang
diikat bersama oleh ligarnen dan membran.
Trachea atau batang tenggorok kira-kira 9 cm panjangnya trachea berjalan dari larynx
sarnpai kira-kira ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini bercabang
mcnjadi dua bronckus (bronchi). Trachea tersusun atas 16 - 20 lingkaran tak- lengkap
yang berupan cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang
melengkapi lingkaran disebelah belakang trachea, selain itu juga membuat beberapa
jaringan otot.
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira vertebrata
torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan dilapisi oleh.jenis sel
yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan kesamping ke arah tampuk paru.
Bronckus kanan lebih pendek dan lebih lebar daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi darl
arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut
bronckus lobus bawah. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan,
dan berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelurn di belah menjadi beberapa cabang yang
berjalan kelobus atas dan bawah.
Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus lobaris dan
kernudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronchus
yang ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu
saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkhiolus
terminalis memiliki garis tengah kurang lebih I mm. Bronkhiolus tidak diperkuat oleh
cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah.
Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkbiolus terminalis disebut saluran
penghantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat
pertukaran gas paru-paru.
Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan respiratorius
yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya. Ductus
alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveoilis dan sakus alveolaris terminalis merupakan
akhir paru-paru, asinus atau.kadang disebut lobolus primer memiliki tangan kira-kira 0,5
s/d 1,0 cm. Terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai dari trachea sampai Sakus
Alveolaris. Alveolus dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn.
Paru-paru terdapat dalam rongga thoraks pada bagian kiri dan kanan. Dilapisi oleh pleura
yaitu parietal pleura dan visceral pleura. Di dalam rongga pleura terdapat cairan surfaktan
yang berfungsi untuk lubrikai. Paru kanan dibagi atas tiga lobus yaitu lobus superior,
medius dan inferior sedangkan paru kiri dibagi dua lobus yaitu lobus superior dan
inferior. Tiap lobus dibungkus oleh jaringan elastik yang mengandung pembuluh limfe,
arteriola, venula, bronchial venula, ductus alveolar, sakkus alveolar dan alveoli.
Diperkirakan bahwa stiap paru-paru mengandung 150 juta alveoli, sehingga mempunyai
permukaan yang cukup luas untuk tempat permukaan/pertukaran gas.
Proses fisiologi pernafasan dimana 02 dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan,
dan C02 dikeluarkan keudara ekspirasi dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium
pertama adalah ventilasi yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan keluar paruparu.
karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja
mekanik dari otot-otot. Stadium kedua, transportasi yang terdiri dan beberapa aspek yaitu
: (1) Difusi gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksternal) dan antara
darah sistemik dan sel.-sel jaringan (2) Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonal dan
penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus. (3) Reaksi kimia dan fisik dari
02 dan C02 dengan darah respimi atau respirasi interna menipak-an stadium akhir dari
respirasi, yaitu sel dimana metabolik dioksida untuk- mendapatkan energi, dan C02
terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru-paru (4)
Transportasi, yaitu. tahap kcdua dari proses pemapasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 urn). Kekuatan
mendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase
gas. (5) Perfusi, yaitu pemindahan gas secara efektif antara. alveolus dan kapiler paruparu
membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru-paru dan perfusi (aliran
darah) dalam kapiler dengan perkataan lain ventilasi dan perfusi. dari unit pulmonary
harus sesuai pada orang normal dengan posisi tegak dan keadaan istirahat maka ventilasi
dan perfusi hampir seimbang kecuali pada apeks paru-paru.
Secara garis besar bahwa Paru-paru memiliki fungsi sebagai berikut:
(1) Terdapat permukaan gas-gas yaitu mengalirkan Oksigen dari udara atmosfer kedarah
vena dan mengeluarkan gas carbondioksida dari alveoli keudara atmosfer. (2) menyaring
bahan beracun dari sirkulasi (3) reservoir darah (4) fungsi utamanya adalah pertukaran
gas-gas
5. Patofisiologi
Port de’ entri kuman microbaterium tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran
pencernaan, dan luka terbuka pada kulit, kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi melalui
udara (air borne), yaitu melalui inhalasi droppet yang mengandung kuman-kuman basil
tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi terdiri dari satu
sampai tiga gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan
cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang
alveolus biasanya di bagian bawah lobus atau paru-paru, atau di bagian atas lobus bawah.
Basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak
pada tempat tersebut dan memfagosit bacteria namun tidak membunuh organisme
tersebut. Sesudah hari-hari pertama maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia
seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau
proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di
dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar bening regional.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi mcajadi lebih panjang dan sebagian bersatu
sehingga membentuk sel tuberkel epiteloit, yang dikelilingi oleh fosit. Reaksi ini
biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.
6. Manifestasi Klinik
Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang mempunyai
banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti
lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga
diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik.
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala
sistemik:
1. Gejala respiratorik, meliputi:
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan.
Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah
ada kerusakan jaringan.
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau
bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak.
Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah
tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c. Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal
yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila
sistem persarafan di pleura terkena.
2. Gejala sistemik, meliputi:
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip
demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang
masa bebas serangan makin pendek.
b. Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta
malaise.
Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi
penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul
menyerupai gejala pneumonia.
Gejala klinis Haemoptoe:
Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara membedakan ciriciri
sebagai berikut :
1. Batuk darah
a. Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
b. Darah berbuih bercampur udara
c. Darah segar berwarna merah muda
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia kadang-kadang terjadi
f. Benzidin test negatif
2. Muntah darah
a. Darah dimuntahkan dengan rasa mual
b. Darah bercampur sisa makanan
c. Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
d. Darah bersifat asam
e. Anemia seriang terjadi
f. Benzidin test positif
3. Epistaksis
a. Darah menetes dari hidung
b. Batuk pelan kadang keluar
c. Darah berwarna merah segar
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia jarang terjadi
6. Test Diagnostik
Foto thorax PA dengan atau tanpa literal merupakan pemeriksaan radiology standar. Jenis
pemeriksaan radiology lain hanya atas indikasi Top foto, oblik, tomogram dan lain-lain.
Karakteristik radiology yang menunjang diagnostik antara lain :
a. Bayangan lesi radiology yang terletak di lapangan atas paru.
b. Bayangan yang berawan (patchy) atau berbercak (noduler)
c. Kelainan yang bilateral, terutama bila terdapat di lapangan atas paru
d. Bayang yang menetap atau relatif menetap setelah beberapa minggu
e. Bayangan bilier
Pemeriksaan Bakteriologik (Sputum) ; Ditemukannya kuman micobakterium TBC dari
dahak penderita memastikan diagnosis tuberculosis paru.
Pemeriksaan biasanya lebih sensitive daripada sediaan apus (mikroskopis). Pengambilan
dahak yang benar sangat penting untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Pada
pemeriksaan pertama. sebaiknya 3 kali pemeriksaan dahak. Uji resistensi harus dilakukan
apabila ada dugaan resistensi terhadap pengobatan.
Pemeriksaan sputum adalah diagnostik yang terpenting dalam prograrn pemberantasan
TBC paru di Indonesia.
8. Klasifikasi
Klasifikasi TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik dan
riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu
faktor determinan untuk menetapkan strategi terapi.
Sesuai dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB Paru dibagi sebagai berikut:
a. TB Paru BTA Positif dengan kriteria:
1. Dengan atau tanpa gejala klinik
2. BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong biakan
positif satu kali atau disokong radiologik positif 1 kali.
3. Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.
b. TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:
1. Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif
2. BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.
c. Bekas TB Paru dengan kriteria:
a. Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif
b. Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
c. Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang tidak
berubah.
d. Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).
9. Penanganan Medik
Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati juga mencegah
kematian, mencegsah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata
rantai penularan.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat
tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah
Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedang jenis obat tambahan
adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam Klavulanat, derivat
Rifampisin/INH.
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan
lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik, hapusan
dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di samping itu perlu pemahaman tentang
strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short
Course (DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari lima komponen
yaitu:
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam
penanggulangan TB.
2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung sedang
pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat
dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
3. Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung
oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan pertama dimana
penderita harus minum obat setiap hari.
4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.
B. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Data-data yang perlu dikaji pada asuhan keperawatan dengan Tuberkulosis paru
(Doengoes, 2000) ialah sebagai berikut :
1. Riwayat PerjalananPenyakit
a. Pola aktivitas dan istirahat
Subjektif : Rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. sesak (nafas pendek), sulit
tidur, demam, menggigil, berkeringat pada malam hari.
Objektif : Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak (tahap, lanjut; infiltrasi
radang sampai setengah paru), demam subfebris (40 -410C) hilang timbul.
b. Pola nutrisi
Subjektif : Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan.
Objektif : Turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan lemak sub kutan.
c. Respirasi
Subjektif : Batuk produktif/non produktif sesak napas, sakit dada.
Objektif : Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent, mukoid
kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi basah,
kasar di daerah apeks paru, takipneu (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru dan
Sumber : http://stikep.blogspot.com
Design by Defa Arisandi, A.Md.Kep
pleural), sesak napas, pengembangan pernapasan tidak simetris (effusi pleura.), perkusi
pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).
d. Rasa nyaman/nyeri
Subjektif : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Obiektif : Berhati-hati pada area yang sakit, prilaku distraksi, gelisah, nyeri bisa timbul
bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga timbul pleuritis.
e. Integritas ego
Subjektif : Faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/tak ada harapan.
Objektif : Menyangkal (selama tahap dini), ansietas, ketakutan, mudah tersinggung.
2. Riwayat Penyakit Sebelumnya:
a. Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh.
b. Pernah berobat tetapi tidak sembuh.
c. Pernah berobat tetapi tidak teratur.
d. Riwayat kontak dengan penderita Tuberkulosis Paru.
e. Daya tahan tubuh yang menurun.
f. Riwayat vaksinasi yang tidak teratur.
3. Riwayat Pengobatan Sebelumnya:
a. Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan sakitnya.
b. Jenis, warna, dosis obat yang diminum.
c. Berapa lama. pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan penyakitnya.
d. Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir.
4. Riwayat Sosial Ekonomi:
a. Riwayat pekerjaan. Jenis pekerjaan, waktu dan tempat bekerja, jumlah penghasilan.
b. Aspek psikososial. Merasa dikucilkan, tidak dapat berkomunikisi dengan bebas,
menarik diri, biasanya pada keluarga yang kurang marnpu, masalah berhubungan dengan
kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak, masalah
tentang masa depan/pekerjaan pasien, tidak bersemangat dan putus harapan.
5. Faktor Pendukung:
a. Riwayat lingkungan.
b. Pola hidup.
Nutrisi, kebiasaan merokok, minum alkohol, pola istirahat dan tidur, kebersihan diri.
c. Tingkat pengetahuan/pendidikan pasien dan keluarga tentang penyakit, pencegahan,
pengobatan dan perawatannya.
6. Pemeriksaan Diagnostik:
a. Kultur sputum: Mikobakterium Tuberkulosis positif pada tahap akhir penyakit.
b. Tes Tuberkulin: Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15 mm terjadi 48-72
jam).
c. Poto torak: Infiltnasi lesi awal pada area paru atas ; Pada tahap dini tampak gambaran
bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak jelas ; Pada kavitas bayangan, berupa
Sumber : http://stikep.blogspot.com
Design by Defa Arisandi, A.Md.Kep
cincin ; Pada kalsifikasi tampak bayangan bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.
d. Bronchografi: untuk melihat kerusakan bronkus atau kerusakan paru karena TB paru.
e. Darah: peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).
f. Spirometri: penurunan fuagsi paru dengan kapasitas vital menurun.
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang lazim terjadi pada klien dengan Tuberkulosis paru adalah
sebagai berikut:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan: Sekret kental atau sekret
darah, Kelemahan, upaya batuk buruk. Edema trakeal/faringeal.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan: Berkurangnya keefektifan
permukaan paru, atelektasis, Kerusakan membran alveolar kapiler, Sekret yang
kental, Edema bronchial.
3. Resiko tinggi infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan: Daya tahan
tubuh menurun, fungsi silia menurun, sekret yang inenetap, Kerusakan jaringan
akibat infeksi yang menyebar, Malnutrisi, Terkontaminasi oleh lingkungan,
Kurang pengetahuan tentang infeksi kuman.
4. Perubahan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan:
Kelelahan, Batuk yang sering, adanya produksi sputum, Dispnea, Anoreksia,
Penurunan kemampuan finansial.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan
dengan: Tidak ada yang menerangkan, Interpretasi yang salah, Informasi yang
didapat tidak lengkap/tidak akurat, Terbatasnya pengetahuan/kognitif
4. Rencana Keperawatan
Adapun rencana keperawatan yang ditetapkan berdasarkan diagnosis keperawatan yang
telah dirumuskan sebagai berikut:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif
Tujuan: Mempertahankan jalan napas pasien. Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas. Berpartisipasi dalam
program pengobatan sesuai kondisi. Mengidentifikasi potensial komplikasi dan
melakukan tindakan tepat.
Intervensi:
a. Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, imma, kedalaman dan penggunaan
otot aksesori.
Rasional: Penurunan bunyi napas indikasi atelektasis, ronki indikasi akumulasi
secret/ketidakmampuan membersihkan jalan napas sehingga otot aksesori digunakan dan
kerja pernapasan meningkat.
b. Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat karakter, jumlah
sputum, adanya hemoptisis.
Rasional: Pengeluaran sulit bila sekret tebal, sputum berdarah akibat kerusakan paru atau
luka bronchial yang memerlukan evaluasi/intervensi lanjut.
c. Berikan pasien posisi semi atau Fowler, Bantu/ajarkan batuk efektif dan latihan napas
dalam.
Rasional: Meningkatkan ekspansi paru, ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan
peningkatan gerakan sekret agar mudah dikeluarkan
d. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.
Rasional: Mencegah obstruksi/aspirasi. Suction dilakukan bila pasien tidak mampu
mengeluarkan sekret.
e. Pertahankan intake cairan minimal 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi.
Rasional: Membantu mengencerkan secret sehingga mudah dikeluarkan
f. Lembabkan udara/oksigen inspirasi.
Rasional: Mencegah pengeringan membran mukosa.
g. Berikan obat: agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid sesuai indikasi.
Rasional: Menurunkan kekentalan sekret, lingkaran ukuran lumen trakeabronkial,
berguna jika terjadi hipoksemia pada kavitas yang luas.
h. Bantu inkubasi darurat bila perlu.
Rasional: Diperlukan pada kasus jarang bronkogenik. dengan edema laring atau
perdarahan paru akut.
2. Gangguan pertukaran gas
Tujuan: Melaporkan tidak terjadi dispnea. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan
oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal. Bebas dari gejala
distress pernapasan.
Intervensi
a. Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal. Peningkatan upaya respirasi,
keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan.
Rasional: Tuberkulosis paru dapat rnenyebabkan meluasnya jangkauan dalam paru-pani
yang berasal dari bronkopneumonia yang meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural
effusion dan meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.
b. Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan warna
kulit, membran mukosa, dan warna kuku.
Rasional: Akumulasi secret dapat menggangp oksigenasi di organ vital dan jaringan.
c. Demonstrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan napas dengan bibir disiutkan, terutama
pada pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim.
Rasional: Meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah kolapsnya jalan napas.
d. Anjurkan untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan.
Rasional: Mengurangi konsumsi oksigen pada periode respirasi.
e. Monitor GDA.
Rasional: Menurunnya saturasi oksigen (PaO2) atau meningkatnya PaC02 menunjukkan
perlunya penanganan yang lebih. adekuat atau perubahan terapi.
f. Berikan oksigen sesuai indikasi.
Rasional: Membantu mengoreksi hipoksemia yang terjadi sekunder hipoventilasi dan
penurunan permukaan alveolar paru.
3. Resiko tinggi infeksi dan penyebaran infeksi
Tujuan: Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran
infeksi. Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan
yang. aman.
Intervensi
a. Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, penyebaran infeksi melalui bronkus
pada jaringan sekitarnya atau aliran darah atau sistem limfe dan resiko infeksi melalui
batuk, bersin, meludah, tertawa., ciuman atau menyanyi.
Rasional: Membantu pasien agar mau mengerti dan menerima terapi yang diberikan
untuk mencegah komplikasi.
b. Identifikasi orang-orang yang beresiko terkena infeksi seperti anggota keluarga, teman,
orang dalam satu perkumpulan.
Rasional: Orang-orang yang beresiko perlu program terapi obat untuk mencegah
penyebaran infeksi.
c. Anjurkan pasien menutup mulut dan membuang dahak di tempat penampungan yang
tertutup jika batuk.
Rasional: Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
d. Gunakan masker setiap melakukan tindakan.
Rasional: Mengurangi risilio penyebaran infeksi.
e. Monitor temperatur.
Rasional: Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.
f. Identifikasi individu yang berisiko tinggi untuk terinfeksi ulang Tuberkulosis paru,
seperti: alkoholisme, malnutrisi, operasi bypass intestinal, menggunakan obat penekan
imun/ kortikosteroid, adanya diabetes melitus, kanker.
Rasional: Pengetahuan tentang faktor-faktor ini membantu pasien untuk mengubah gaya
hidup dan menghindari/mengurangi keadaan yang lebih buruk.
g. Tekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani.
Rasional: Periode menular dapat terjadi hanya 2-3 hari setelah permulaan kemoterapi jika
sudah terjadi kavitas, resiko, penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
h. Pemberian terapi INH, etambutol, Rifampisin.
Rasional: INH adalah obat pilihan bagi penyakit Tuberkulosis primer dikombinasikan
dengan obat-obat lainnya. Pengobatan jangka pendek INH dan Rifampisin selama 9 bulan
dan Etambutol untuk 2 bulan pertama.
i. Pemberian terapi Pyrazinamid (PZA)/Aldinamide, para-amino salisik (PAS), sikloserin,
streptomisin.
Rasional: Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah resisten.
j. Monitor sputum BTA
Rasional: Untuk mengawasi keefektifan obat dan efeknya serta respon pasien terhadap
terapi.
4. Perubahan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
Tujuan: Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratoriurn
normal dan bebas tanda malnutrisi. Melakukan perubahan pola hidup untuk
meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi:
a. Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut,
kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau diare.
Rasional: berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang tepat.
b. Kaji pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.
Rasional: Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet
pasien.
c. Monitor intake dan output secara periodik.
Rasional: Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
d. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan
medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB).
Rasional: Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk
meningkatkan intake nutrisi.
e. Anjurkan bedrest.
Rasional: Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan
metabolik.
f. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.
Rasional: Mengurangi rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan yang
dapat merangsang muntah.
g. Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
Rasional: Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi gaster.
h. Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.
Rasional: Memberikan bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi adekuat unruk
kebutuhan metabolik dan diet.
i. Konsul dengan tim medis untuk jadwal pengobatan 1-2 jam sebelum/setelah makan.
Rasional: Membantu menurunkan insiden mual dan muntah karena efek samping obat.
j. Awasi pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin).
Rasional: Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan perubahan program terapi.
k. Berikan antipiretik tepat.
Rasional: Demam meningkatkan kebutuhan metabolik dan konsurnsi kalori.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan.
Tujuan: Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan.
Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki kesehatan umurn dan
menurunkan resiko pengaktifan ulang luberkulosis paru. Mengidentifikasi gejala yang
mernerlukan evaluasi/intervensi. Menerima perawatan kesehatan adekuat.
Intervensi
a. Kaji kemampuan belajar pasien misalnya: tingkat kecemasan, perhatian, kelelahan,
tingkat partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, media, orang dipercaya.
Rasional: Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan kesiapan fisik.
Keberhasilan tergantung pada kemarnpuan pasien.
b. Identifikasi tanda-tanda yang dapat dilaporkan pada dokter misalnya: hemoptisis, nyeri
dada, demam, kesulitan bernafas, kehilangan pendengaran, vertigo.
Rasional: Indikasi perkembangan penyakit atau efek samping obat yang membutuhkan
evaluasi secepatnya.
c. Tekankan pentingnya asupan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan intake
cairan yang adekuat.
Rasional: Mencukupi kebutuhan metabolik, mengurangi kelelahan, intake cairan
membantu mengencerkan dahak.
d. Berikan Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal minum obat.
Rasional: Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
e. jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekuensi, tindakan dan perlunya terapi dalam jangka waktu lama. Ulangi penyuluhan tentang interaksi obat Tuberkulosis dengan obat lain.
Rasional: Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi dan mencegah putus obat.
f. jelaskan tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan,
sakit kepala, peningkatan tekanan darah
Rasional: Mencegah keraguan terhadap pengobatan sehingga mampu menjalani terapi.
g. Anjurkan pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH.
Rasional: Kebiasaan minurn alkohol berkaitan dengan terjadinya hepatitis
h. Rujuk perneriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol.
Rasional: Efek samping etambutol: menurunkan visus, kurang mampu melihat warna
hijau.
i. Dorong pasien dan keluarga untuk mengungkapkan kecemasan. Jangan menyangkal.
Rasional: Menurunkan kecemasan. Penyangkalan dapat memperburuk mekanisme
koping.
j. Berikan gambaran tentang pekerjaan yang berisiko terhadap penyakitnya misalnya:
bekerja di pengecoran logam, pertambangan, pengecatan.
Rasional: Debu silikon beresiko keracunan silikon yang mengganggu fungsi
paru/bronkus.
k. Anjurkan untuk berhenti merokok.
Rasional: Merokok tidak menstimulasi kambuhnya Tuberkulosis; tapi gangguan
pernapasan/ bronchitis.
l. Review tentang cara penularan Tuberkulosis dan resiko kambuh lagi.
Rasional: Pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko penularan/ kambuh kembali.
Komplikasi Tuberkulosis: formasi abses, empisema, pneumotorak, fibrosis, efusi pleura,
empierna, bronkiektasis, hernoptisis, u1serasi Gastro, Instestinal (GD, fistula
bronkopleural, Tuberkulosis laring, dan penularan kuman.
5. Evaluasi
a. Keefektifan bersihan jalan napas.
b. Fungsi pernapasan adekuat untuk mernenuhi kebutuhan individu.
c. Perilaku/pola hidup berubah untuk mencegah penyebaran infeksi.
d. Kebutuhan nutrisi adekuat, berat badan meningkat dan tidak terjadi malnutrisi.
e. Pemahaman tentang proses penyakit/prognosis dan program pengobatan dan perubahan
perilaku untuk memperbaiki kesehatan.